DESA Bailangu pada mulanya terletak di seberang Sungai Musi bagian Ulu (daerah seberang dusun Sungai Guci), namun pada zaman dahulu desa ini warganya banyak terjangkit wabah malaria akibat banyaknya nyamuk yang bersarang, akhirnya Desa Bailangu pindah ke arah seberang Ilir (dekat Dusun Sungai Guci) seperti yang kita lihat sekarang ini.
Desa Bailangu sendiri termasuk dalam wilayah Kecamatan Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Jika kita bepergian dari Palembang menuju ke desa ini akan memakan waktu kurang lebih dua setengah jam perjalanan.
Masyarakat Bailangu termasuk kultur masyarakat yang sederhana, ulet, cerdas dan religius. Di Bailangu banyak dibangun masjid-masjid dan setiap tahunnya masyarakat yang pergi menunaikan ibadah haji lumayan banyak. Dalam bidang pendidikan, Putra-putri Bailangu banyak yang sukses menempuh pendidikan pada perguruan-perguruan tinggi terkenal antara lain Universitas Gajah Mada, Universitas Sriwijaya, dan Padjajaran Bandung. Disamping itu juga ada yang sukses menjadi anggota TNI dan Polri, jadi dokter dan seorang dosen.
Bailangu, dalam hikayat Sultan Mahmud Badarudin II disebut desa Buay Langu (sumber wikipedia). Asal usul desa Bailangu menurut cerita turun temurun dan cerita yang berkembang di masyarakat setempat, didirikan oleh Eyang atau Puyang (sebutan untuk orang yang memiliki ilmu kedigdayaan) Abusaka yang berasal dari Desa Kima Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Nama Bailangu sendiri kalau diterjemahkan terdiri dari dua suku kata yaitu Buay yang berarti 'Ayunan' dan suku kata kedua 'Langu' merupakan nama salah satu cendawan atau jamur yang biasa dikonsumsi warga Bailangu.
Puyang Abusaka mempunyai empat orang anak yaitu Puyang Lebe, Puyang Janggut (Jantiri), Puyang Mudim (Ragentam Ali), dan Puyang Tembesu. Dari keempat anak Puyang Abusaka ini garis keturunan orang-orang Bailangu dimulai. Dan mereka membangun Desa Bailangu sepeninggal Puyang Abusaka yang kembali ke daerah asalnya di Kima, Bangka. Begitu eratnya hubungan antara Desa Kima dan Bailangu pada zaman itu, sampai ada daerah yang bernama 'Belinyu' termasuk dalam wilayah Kabupaten Sungai Liat Bangka Belitung yang mempunyai kemiripan dengan Nama Bailangu sendiri.
Jika dilihat dari posisi makam anak-anak keturunan Puyang Abusaka, sepertinya ada semacam anggapan mereka adalah pendiri dan sesepuh Desa Bailangu. Puyang Janggut dimakamkan di daerah Sungai Guci (diseberang uluh desa), Puyang Mudim (diseberang ilir desa), Puyang Lebe (dibagian utara desa) dan Puyang Tembesu (dibagian Selatan desa). Konon Puyang Tembesu dimakamkan di tanah tumbuh daerah Sungai Tilan Desa Lumban Jaya.
Semasa hidupnya keempat puyang tersebut banyak menorehkan sejarah sebagai tokoh yang disegani karena Ilmu kedigdayaan mereka, dan Ilmu kedigdayaan tersebut diwariskan secara turun temurun. Salah seorang keturunan mereka yang paling terkenal adalah 'Puyang Dak Bepusat' (tidak punya puser atau udel). Nama lain dari Puyang Dak Bepusat yang terkenal adalah Ketip Tiudin alias Puyang Silam-silaman.
Konon menurut cerita, suatu hari Puyang Tembesu 'ngandun' (berkunjung) ke Desa Karang Waru. Disana ia terpikat dengan seorang gadis kembang desa itu dan berusaha untuk mengmbil hati si gadis agar menjadi kekasihnya. Namun masyarakat setempat tidak terima niat Puyang Tembesu yang akan mempersunting Si kembang desa dan menyandera Puyang Tembesu lalu mengikatnya pada sebatang Pohon Kayu Tembesu. Puyang Tembesu bukannya tidak melakukan perlawanan dan menggunakan ilmu kedigdayaannya, tapi dia membiarkan perlakuan Warga Waru demi sang kekasih tambatan hati.
Mendapati dirinya terikat pada sebatang pohon, dengan kelebihan yang dimilikinya Puyang Tembesu memerintahkan seekor burung 'Kuntul' agar pergi ke Desa Bailangu untuk memberitahukan keberadaan beliau yang disandera warga Karang Waru kepada Kuyung (kakak)nya.
Setelah mendengar berita itu, tiga saudara Puyang Tembesu yaitu Puyang Lebe, Puyang Mudim dan Puyang Janggut, berdatangan ke Desa Karang Waru untuk membebaskan dirinya yang sengaja disandera.
Sesampai di daerah ini, ketiga puyang yang terkenal sakti mandraguna itu langsung memerintah warga desa untuk segera membebaskan saudara mereka Puyang Tembesu. Mereka bertiga menghentakan kakinya ke tanah tebing di pinggiran sebuah sungai Desa Karang Waru. Tanah bekas hentakan kaki sang puyang longsor dan amblas kedasar sungai. Bekas longsoran tanah itu juga membuat bibir sungai menjadi tidak rata hingga membentuk sebuah lubang dipinggiran sungai. Sampai saat ini bekas lubang itu masih terlihat dengan jelas sebagai saksi akan kesaktian ketiga puyang dari Desa Bailangu tersebut.
Seisi Desa Karang Waru menjadi geger dengan kedatangan saudara Puyang Tembesu. Warga tidak sanggup menghadapi kesaktian Puyang Mudim, Puyang Lebe dan Puyang Janggut hingga akhirnya Puyang Tembesu berhasil dibebaskan. Peristiwa penyanderaan Puyang Tembesu ini yang membuat orang-orang menjulukinya puyang Tembesu karena waktu disandera dia terikat pada sebatang Pohon Kayu Tembesu.
Blogger Comment
Facebook Comment